Tukang batu itu ingin menjadi orang kaya, punya ‘istana’ - dan “terjadilah apa yang diinginkannya”. Karena pikiran dan hatinya tidak pernah merasa puas, ia masih juga ingin menjadi raja – kemudian ingin menjadi matahari – lalu ingin menjadi awan – lalu hujan – lalu gunung batu. Dan akhirnya ….. ingin menjadi tukang pemecah batu lagi. Kebahagiaan adalah perasaan hati – sebuah pilihan. Keserakahan, kerakusan, egoisme yang berlebihan, membuat kehidupan menjadi kelabu, tiada cahaya kebahagiaan.
Setiap hari orang itu naik ke gunung, atau turun ke sungai mencari batu. Pencari batu bekerja dengan semangat, penuh suka cita. Hidupnya bahagia karena ia tidak menginginkan lebih dari pada yang dapat ia miliki.
Pada suatu hari ia mendapat ‘promosi’ dari pemecah batu menjadi tukang batu, lalu mengerjakan sebuah rumah mewah milik seorang bangsawan. Setelah rumah selesai dibangun dan dilengkapi dengan perabotan mewah, ia ikut diundang pada acara peresmian rumah tinggal sang bangsawan.
Ketika ia melihat ‘istana’ yang amat indah itu, suasana hati dan pikirannya mengalami perubahan drastis, ada sesuatu yang belum pernah dirasakan sebelumnya, rasa iri dan kecewa yang menyakitkan hati.
Lalu katanya: “Saya bekerja keras membangun rumah sebesar ini, tetapi rumah saya sendiri yang sudah reyot malah dibiarkan saja. Seandainya saja saya kaya, maka tidak perlu bersusah payah bekerja membanting tulang seperti ini”. Dan betapa terkejutnya ketika pada saat itu juga, ia mendengar suara: “Keinginanmu dikabulkan, sejak sekarang apapun yang menjadi keinginanmu akan terwujud!”.
Ternyata benar, sekembalinya dari ‘istana’, rumahnya yang reyot sudah berubah menjadi rumah mewah, seindah rumah sang bangsawan. Kini tukang batu itu mulai hidup sebagai orang kaya, tetapi ia masih juga belum merasa puas. Pada suatu hari ia melihat raja yang lewat di depan rumahnya diiringi oleh para hulu balang. Dengan spontan ia berkata: “Saya ingin menjadi raja, menikmati perjalanan yang menyenangkan, duduk di dalam kereta kencana yang indah”.
Seketika itu juga keinginannya terkabul, ia duduk di dalam kereta raja, namun hatinya masih belum puas juga karena merasakan panas teriknya matahari yang dapat menerobos masuk membakar kereta. “Saya ingin menjadi matahari”, katanya.
Seketika itu, ia menjadi matahari yang mengeluarkan panas luar biasa. Namun, pada saat musim hujan, sinar matahari tidak mampu menerobos segumpal awan hitam yang menghalanginya. Karena pikiran dan hatinya tidak pernah merasa puas, ia masih juga ingin berubah menjadi awan yang menang melawan teriknya sinar matahari. Lalu awan itu menjadi hujan yang turun ke bumi, dan mengalir ke mana ia mau.
Sampai pada suatu saat, di mana air tidak dapat terus berjalan semaunya karena terhalang oleh suatu benda, pecah berhamburan, terbentur batu karang yang berdiri tegak di depannya. “Saya ingin jadi batu karang”, dan terjadilah apa yang diinginkan itu, ia menjadi gunung batu.
Namun, suatu hari ia diganggu oleh suara palu godam yang memecahkan bongkah-bongkah batu di kakinya. Akhirnya ia ingin menjadi manusia lagi, menjadi tukang pemecah batu, yang setiap hari pergi ke gunung bersenandung ria, mencari nafkah, meski hidup seadanya namun merasa bahagia, sebab tidak lagi menginginkan lebih dari pada yang dapat ia miliki.
Keserakahan, kerakusan, egoisme yang berlebihan, membuat kehidupan menjadi kelabu, tiada cahaya kebahagiaan. Menjadikan pikiran, hati dan perbuatan tidak positip, tidak ada rasa puas, dan mengganggu kesehatan serta menutupi jalan menuju kebahagiaan.
Semakin banyak mencurahkan perhatian kepada hal-hal yang ada di luar, tanpa memperhatikan yang ada di dalam diri sendiri, akan semakin jauh dari kebahagiaan yang sejati. Memiliki keinginan dan impian sah-sah saja, ambisi itu juga baik, namun semua itu harus di dalam kendali kesadaran kita.
Kebahagiaan itu tidak perlu menunggu sesuatu yang luar biasa, dalam keadaan yang sederhanapun, kebahagiaan juga dapat dirasa. Mengejar segala sesuatu yang dianggap akan menjadikan kesenangan belum tentu membuahkan kebahagiaan. Kesenangan sesaat yang berasal dari sumber eksternal, bukanlah kebahagiaan sejati. Barangkali hanyalah untuk mengobati kekecewaan, sebagai kompensasi ketidak bahagiaannya.
Orang dapat merasakan kebahagiaan tanpa harus terlalu jauh mengejar kesenangan semu, karena kesenangan yang hakiki selalu ada di dalam banyak hal di sekitar kita sehari-hari. Suami yang baik, isteri yang ramah, anak-anak yang manis, cucu yang lucu, rumah yang tertata rapi, halaman yang indah, dan segala apapun akan dapat membuat senang, jika kita menghendakinya*****
Label: bahagia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar